Bagian dari jiwaku ( epi 2 )

Aku hampir saja menulis nama Kak Likpau di catatan IPS ku. Sedih sekali menyadari bahwa aku tersindir berat dengan omongan Kak Likpau kemarin. '" Kalau memang betul, kenapa Serra tidak mencoba mencintai? "' Pikiranku kembali menyuarakan serentetan kalimat itu dengan suara yang didengungkan Kak Likpau kemarin. Mencintai memang mudah saja bila diucapkan, tapi bila dipraktekan terasa menyedihkan ketika berusaha mencintai seseorang padahal tahu seseorang itu tidak mencintai kita.


Setidaknya, aku pernah merasakan mencintai seseorang sehingga aku berani mengatakan itu. Karena pengalaman membuatku belajar. Cinta tidak benar-benar indah seindah orang yang mengatakannya. Seseorang yang dulu kucintai bernama Dinar, telah mengajari aku bahwa lebih enak dicintai daripada mencintai. Kak Likpau kini berhasil membuatku merasa aku mengorek luka yang terlanjur berdarah dihatiku membuat Bu Vivi memperhatikan sejenak.

" Ada masalah, nak Sera? " Tanyanya penuh perhatian yang membuat semua orang yang berada di ruangan yang sama denganku mengalihkan perhatiannya dan menoleh ke arahku. Banyak sekali pasang mata yang membuatku kikuk untuk menjawab normal.

" Tidak ada, Bu, " Seruku gugup membuat Ibu Vivi memicingkan matanya dan kembali menyelesaikan Catatannya. Sedikit membuatku lega.

Dan beberapa menit kemudian, terdengar bunyi bel istirahat menggaung ke Seluruh penjuru ruangan. Alhasil, Marina mendekatiku dengan bekal ditangannya.

" Hei, Kau. Ada masalah? " Tanya Marina persuasif. Aku bergidik bahwa Marina adalah perempuan yang tidak dapat dibohongi. Aku menyesal telah menobatkannya menjadi sahabatku.

" Banyak, Tapi tidak cukup penting untuk dibahas, " Seruku sekenanya. Marina sepertinya tidak puas dengan jawabanku.

" Kau mengesalkan sekali, kau tahu kau harus memuaskan rasa penasaranku! Dengan cara menceritakan masalahmu yang 'banyak' itu padaku... " Kata Marina tahu bahwa aku akan menceritakannya pada akhirnya. Aku menyerah, siapa yang tahu caranya berbohong dengan baik didepan Cewek yang dinaungi bintang Sagitarius ini? Aku terdiam sejenak, mencari awalan untuk mengungkapkan kesedihanku. Sedih? Tidak juga, tapi bisa juga disebut seperti itu. Karena aku bingung menjelaskan perasaanku seperti apa sekarang!

" Kemarin, Kak Likpau datang ke Rumah. " Ucapku akhirnya setelah berpikir keras, " Dan aku banyak berbicara dengannya masalah Rendi kemarin, " Sambungku sambil melihat tanganku.

" Terus? " Desak Marina. Aku mendongak sambil melihat Marina mengunyah isi bekalnya, lalu menelan ludahku karena ini tidak menyenangkan untuk dibahas.

" Kami saling membuka hati kami, bertukar pikiran tentang masalah kami dan mendapatkan pendapat yang kami inginkan. Hanya saja... " Ucapku lagi tapi terhenti ketika melihat Rendi melintasi Kelas kami dan tersenyum ketika tatapanku bertabrakan dengan matanya.

" Hanya saja? " Ucap Marina mendapatkan perhatianku kembali.

" Hanya saja..., Kak Likpau membuatku bingung sekaligus membuatku....Sedih? " Imbuhku dengan nada yang tidak jelas.

" Memangnya, dia bilang apa? " Tanya Marina setelah meminum teh botol.

" Dia bilang, '" bisakah Sera mencintai seseorang'"? Kurang lebih seperti itu, " Kataku sambil menirukan nada Kak Likpau.

" Jelas sekali, itu menyindirmu sampai ke ulu hatimu. " Ucap Marina satu suara denganku.

" Kau jelas tidak menyukai kata 'cinta', apalagi kata 'mencintai' atau 'dicintai'? " Seru Marina sambil menutup tutup bekalnya. Aku mengangguk, rasanya agak lega setelah membicarakannya dengan Marina yang tumben sekali tidak mengorek-orek informasi lebih lanjut dariku karena dia tidak terlalu begitu kenal dengan Kak Likpau. Seandainya saja Marina tahu seperti apa Kak Likpau.

***
Hujan merembes ke luar Jendela, membuat samar pemandangan pohon cemara yang menjulang tinggi dan berumur tua sama tuanya dengan umur sekolah ini sehingga rasanya mereka mempunyai banyak cerita yang tidak pernah diungkapkan. Hujan adalah satu dari banyak hal yang membuat aku bergidik kesal, karena ada satu kenangan dimana hujan membasahi 'momen' itu. Syukurlah, jam kosong pada saat ini. Jadi aku tak perlu repot-repot untuk menyiapkan ekspresiku yang sarat akan kesedihan. Aku ingin bersedih-sedihan hari ini, karena aku tak mungkin bisa melakukannya di Rumah karena aku yakin sekali Kak Likpau sedang ada dirumah. Tapi, tiba-tiba aku teringat dengan Dinar. Cowok manis yang berkulit sawo matang dan tinggi yang melebihi tinggiku sedang tersenyum manis di otakku. Lalu, terbayang hari ulang tahunku dua tahun yang lalu dimana Aku dengan Dinar berada di tempat yang sama dan hujan deras mengguyur pada saat itu.

Disana, aku mengenal lebih jauh siapa 'Dinar' sampai-sampai hatiku terpaut olehnya. Konyol rasanya bila aku mengingat kembali kenangan itu. Diriku yang pada saat itu, masih polos dan suka menebar senyuman. Bertolak belakang sekali dengan aku yang sekarang, yang lebih suka menjulurkan lidah dan memuntahkan isi perutku jika bisa ketika mendengar kata cinta didengung-dengungkan. Hebat, banyak sekali perubahan yang kualami hingga aku menjadi mudah tersinggung. Sambil melihat banyak teman-temanku yang sedang becanda yang penuh dengan tawa yang menggelegar, kesannya seperti lucu sekali. Tapi sedikitpun aku tidak tertarik untuk tertawa, aku menghela napas apabila merasa hujan tidak dapat menghanyutkan rasa sedihku sekalian ketika mereka jatuh ke tanah. Dan tidak kusangka, kesedihan ini menyita waktuku sehingga tiba-tiba aku terkaget mendengar bel pulang sudah berdering. Aku mulai berpikir dan merencanakan bahwa pulang nanti aku menerobos hujan saja tanpa payung sekalipun. Harapannya sih begitu, tapi Rendi tiba-tiba berjalan menghampiriku sambil membawa payung ditangannya.

" Mau berpayung bersama? " Ajaknya yang hampir saja membuatku terkena serangan jantung. Bukan main, anak satu ini.

" Kau gila, tidak? " erangku hampir saja berjalan melewati Rendi yang langsung nyengir dan memegang lenganku.

" Tidak juga, " Balasnya sambil memperlihatkan wajah yang riang.

" Setelah mengenalmu, aku sedikit merasa 'gila'" Sambungnya menarikku dan memaksaku berjalan dibelakangnya. Sekilas, dari belakang Rendi mirip sekali Dinar. Tapi, senyuman Rendi lebih mirip Kak Likpau. Perpaduan diantara ketiganya semakin membuatku ingin menggigit otakku agar tidak memperhatikan hal itu sehingga sedetail-detail seperti ini.

***

" Dingin " gerutuku datar sambil berjalan disisi Rendi yang tampaknya bangga sekali berjalan disisiku.

" Memang, " Balasnya memancarkan sinar kebahagiaan yang menyilaukan membuat aku malas melihatnya.

" Bukan cuacanya, Rendi. Tapi tatapan fans kamu yang dingin melihat ku! " Racau ku sambil mengangkat kedua tanganku ke langit. Rendi memutar kedua bola matanya.

" Biar saja, seharusnya seorang fans senang apabila melihat idolanya senang... bukankah begitu? " Kata Rendi santai membuatku mendesah.

" In your dream, Rendi " Dengusku.

Tiba-tiba Rendi menyelip langkahku sehingga aku menabrak dadanya yang terbungkus jaket biru bergaris-garis melengkung berwarna putih. Aku merasakan hidungku menjadi pesek sepesek-peseknya karena sudah menabrak dada seorang taekwondo.

" Kenapa selalu jutek banget sih! " Serunya protes memandangku aneh.

" Dunia seharusnya dinikmati dengan santai bukannya malah mengeluh terus! " Sambungnya membuatku membalas tatapannya yang meragukan kewarasanku dengan tatapan ku yang sengit.

" Nggak semuanya ," Ucapku kuat-kuat sehingga rahangku mengeras, " Semuanya harus dinikmati ! suka-suka gue dong! " Sambungku melewati Rendi dan menerobos Hujan begitu saja. Dari jauh aku merasa Rendi mengejarku. Berhasil, Rendi sekarang sedang mencengkeram lenganku dengan tenaga singanya.

" Maafin aku tadi, " Sesal Rendi membuatku tergerak untuk melihat wajahnya.

" Aku cuma nggak bisa ngertiin cara kamu ngehadapin dunia, " Sambungnya membuatku naik pitam.

" Siapa yang suruh kamu ngertiin aku! " Semburku membuat Rendi terdiam.

" Aku nggak perlu rasa pengertian mu, " Sambungku kembali mencoba kabur dari Rendi. Tapi, hanya sepuluh persen dari 100 persen aku bisa kabur darinya. Karena sekarang, aku membeku dihadapan Rendi sambil menahan air mata yang menggenang dikedua mataku.

" Maaf... " Serunya lagi membuat air mataku jatuh. Aku menatap Rendi tidak percaya, aku membiarkan mata ku yang berkaca-kaca dilihat oleh orang seperti Rendi. Bukannya aku membencinya, tapi aku takut untuk menyukainya. Rasa sakit yang sama akan terulang, ku yakin pada hal itu.

Sesampainya di depan Rumah, aku berbalik badan untuk melihat Rendi yang sedari tadi memperlihatkan wajahnya yang murung. Dia tidak berbicara setelah kata maaf terlontar dari bibirnya dan aku malas untuk menerima atau menolak permintaan maafnya. Bagiku, terlalu cepat Rendi mencoba untuk memasuki hatiku seakan dia sudah tahu bagaimana caranya untuk merobohkan benteng sekuat es yang membeku.

Aku mencoba tersenyum, " Thanks." Ucapku dingin dan langsung membuka pintu pagar dan masuk ke dalam rumah. Di jendela, aku melihat sepasang mata elang milik Kak Likpau memperhatikanku dengan ekspresi yang tidak dapat kumengerti.

***

Aku memencet tombol remote tv dan berkali-kali aku mengganti program tv yang tidak dapat menarik perhatianku. Setelah mandi tadi, kejadian saat pulang tadi terus terulang secara acak namun terasa jelas diingatan. Membuatku merasa jengah, tapi kata jengah tidak pas untuk menyebut perasaan yang sedang kurasakan itu.

" Kalau tidak berniat menonton, lebih baik matikan saja, " Gumam Kak Likpau duduk di sebelah kepalaku yang bersandar pada bantal berbentuk babi mungil. Aku melihatnya, wajahnya yang tak terbaca menatapku biasa.

" Sulit rasanya tadi melihat kau kehujanan dan seorang cowok mengantarmu, " Desah Kak Likpau dengan wajah dingin, " Diakah Rendi? " Tanyanya yang membuatku terkejut karena langsung berubah ekspresi menjadi ceria.

" Be...Benar. Tadi itu memang Rendi, Menurut kakak dia seperti apa? " Tanyaku tergugup dan menciptakan sebuah topik obrolan. Seharusnya, aku beranjak bangkit dan pindah saja ke kamar.

" Dia manis, tapi dia tadi kelihatan murung sekali. Sama seperti dirimu, " Ucap Kak Likpau mencoba menebak. Lagi dan lagi, tebakannya jitu.

" Terjadi kejadian yang tidak menyenangkan, " Jelasku sambil melihat ke arah kakiku.

" Jelas, Tak diragukan lagi kebenarannya, " Angguk Kak Likpau satu suara denganku.

Beberapa menit, kami saling terdiam sambil menonton iklan es krim yang dimakan oleh salah satu public figure yang sedang dirundung masalah. Tapi suara kak Likpau menggetarkanku, " Apakah kau menyukainya? " Katanya.

Aku mulai beranjak bangun dan kini duduk berhadapan dengan Kak Likpau. Dia menatapku seperti menunggu jawabanku, dan aku menunggunya untuk melihat ekspresinya.

" Katakan saja, aku hanya ingin tahu, " Serunya dengan nada biasa saja, tapi aku tahu itu tidak benar.

" Kau menyukai aku, Kakak? " Aku balik bertanya yang membuat Kak Likpau hampir melototiku.

" Lebih dari seorang adik temanmu? " sambungku lagi dengan wajah yang tak terkatakan. Mungkin curiga, tidak percaya, atau senang. Mungkin saja.

Kak Likpau membuatku menunggu sebentar, " Kalau aku jujur, apakah kau mau untuk tidak mempermasalahkannya? " Serunya membuatku refleks mengangguk.

" Oke, kemarin aku mengira aku menyukaimu. Dan aku percaya sekarang, aku menyukaimu." Tukasnya membuatku tersetrum mendengarnya.

" Hal apa yang membuat Kakak percaya bahwa kakak menyukaiku? " Tanyaku sambil mengeleng-geleng, suaraku tercekat. Kak Likpau melayangkan pandangannya ke jendela yang masih di luluri air hujan yang lebat. Membuatku termantrai untuk ikut menatap apa yang ditatap oleh Kak Likpau.


" Seharusnya, tadi aku tidak sebegitunya cemburu terhadap seorang cowok yang lebih 'ingusan' daripada aku. " Dengus Kak Likpau sarkastis sekarang." Tapi rasanya, aku ingin sekali berada di tempat itu cowok dan membuatmu tersenyum setidaknya itu lebih baik daripada membuatmu murung, " Tambah Kak Likpau kini memegang kedua tanganku.

Aku ternganga mendengar penjelasannya. Dan tiba-tiba kecupan bibir Kak Likpau mengenai keningku. Dalam sekejap, Kak Likpau menarikku ke dalam pelukannya. Dia menghirup aroma shampooku yang wangi strawberry.


" Dan aku rasa, aku tidak mampu mengalihkan perhatianku lagi dari Sera seperti dia " Aku Kak Likpau membuatku kaget.

" Jadi, orang yang dimaksudkan kakak kemarin... dan pertanyaan itu? " Tanyaku tergagap-gagap sendiri, aku tidak pernah membayangkannya akan terjadi.

" Itu adalah dirimu. Sebaiknya, aku membiarkan dirimu melihat apakah aku pantas untuk memiliki mu atau tidak. Aku menunggumu untuk membalas perasaanku. Ini kurasakan lagi setelah sekian lama tidak kurasakan. " Celoteh Kak Likpau yang membuatku menghirup aroma maskulin Kak Likpau. Perasaan cinta yang dewasa membuatku seperti anak-anak yang ketagihan coklat. Dan aku tidak mengira bahwa aku membiarkan Kak Likpau mengecup keningku sekali lagi. Aku merasa, aku masih sedikit punya rasa untuk bahagia. Lebih bahagia.

***
Bersambung

0 komentar:

Posting Komentar

 

kumpulan puisi cinta,SMS cinta,SMS romantis,SMS gombal,cerpen cinta